Sebenarnya nggak ada niatan jadi pahlawan penyumbang pemasukan negara, lha wong untuk menghidupi diri sendiri aja masih kembang kempis kek gini. Berbekal ilmu yang kudapat dari training center selama kurang lebih 5 bulan, aku sudah terbang ke negara lain yaitu Hongkong untuk menjadi PMI aka TKW aka babu. Hal baru yang tidak pernah kujalani sebelumnya. Nyampe di bandara Hongkong rasanya campur aduk, “ini beneran nggak sih? Kalo mimpi, plis pengen bangun dan nggak mau hidup melalui jalan ini.”Sebenarnya udah nahan nangis di pesawat tapi malu, banyak orang bok. Di bandara pun gitu, bingung aja bawaannya. Untungnya aku ada temen yang udah pernah kerja di Hongkong jadi nggak takut-takut amat. Nah, di bandara kita nunggu dijemput staf agen. Para TKW harus punya agen yang akan mengurusi mereka selama kerja di Hongkong. Setelah ketemu, nggak ada babibu basa-basi, cuma nanya nama doang abis tu langsung naik bus menuju agency. Busyet, jalannya cepet banget, untung aja bawa koper ukuran 20 inch jadi nggak nyusahin. Di Hongkong kita harus terbiasa jalan cepat, oleh karenanya, selama di training center para calon PMI diwajibkan latihan jalan cepat setiap sore sehabis senam. Nyampe di agen kita dikasih makan buat pengganjal perut sebelum medical. Btw, kita nggak dikasih istirahat atau sekedar leyeh-leyeh. Sambil jalan menuju klinik, kita sambil ngobrol dikit, “kalo nggak punya mental kuat, jangan ke Hongkong. Hidup di Hongkong keras.” Begitulah kiranya yang diucapkan oleh staf agen dari Indonesia yang sudah nikah dengan pria Hongkong. Kata-kata ini cukup menusuk, apalagi aku yang nggak pernah kerja jauh dari keluarga. Kerasnya ibukota aja nggak pernah aku rasain, ini udah langsung ke negara orang aja. Setelah medical kita diantar ke boarding house dan nginep semalem. Nggak lupa, kita dikasih nasi padang buat makan malam dan pop mie buat sarapan keesokan harinya. Di Indonesia, aku emang tinggal di kota kecil yang hampir tidak ada gedung menjulang tinggi nyaris menyentuh awan. Disana, dulu aku pernah berkhayal, tinggal di kota besar yang banyak gedung-gedung gitu gimana rasanya, ya? Pasti seru banget. Nggak nyangka, sekarang impian itu terwujud, di negara lain pula. Tapi dengan perasaan yang berbeda, tidak lagi excited, yang ada cuma khawatir dan homesick. Apa karna aku seorang maid? Jadi eksplor hongkong pun nggak semenyenangkan kek waktu jalan-jalan di Surabaya meskipun panas pol.Kini, tidak lagi terdengar suara adzan atau ayam berkokok di pagi hari, melainkan hiruk pikuk kesibukan manusia. Hari itu rasanya nggak siap banget ketemu majikan tapi bagaimanapun semua udah terlanjur dan harus dijalani. Aku merasa cita-citaku runtuh dan nggak se-excited mewujudkannya seperti ketika masih berada di Indonesia. Aku dijemput majikan di stasiun MTR dekat rumahnya. Lalu dibawa pulang. Sampai rumah, aku dilarang langsung kerja padahal udah akting pegang lap dapur, wkkwkw. Hari itu disuruh istirahat dulu dan baru kerja esok harinya. Keesokannya, aku bingung mau ngapain habis beresin semuanya. Soalnya my duties itu bersih-bersih rumah yang lumayan kecil. Di satu ruang itu terdapat meja makan dan ruang tamu yang merangkap jadi ruang keluarga. Selain itu, nyuci baju dan masak. Soalnya majikan juga nggak tua-tua amat dan nggak punya anak kecil. Seminggu disana rasanya stress karena serumah berenam dan mereka nggak keluar rumah sama sekali untuk kerja pun, enggak. Aku nggak tau mereka kerja dimana, yang pasti pas mereka bilang kerja, itu cuma keluar beberapa jam abistu pulang lagi. Kecuali anak bungsu mereka yang masih SMP. Kebayang betapa awkwardnya kerja sambil ditungguin majikan. Awal-awal kerja yang pasti nangis sih tiap malem, karna kangen rumah, kangen orang-orang yang ada didalamnya, kangen kasurku, kangen boker di WC jongkok, kangen mandi pake gayung. Pas hari pertama mau mandi disini, nggak bisa nyalain shower. Alhasil, nggak mandi, deh. Baru besoknya tanya majikan cara nyalain shower. Pasti mereka mikir, “lah, ni anak semalem mandi pake apa?” Majikanku baik sih, cuma ribet pas masak dan beberapa hal kecil yang mana mereka minta kerjanya lebih detail lagi. Jujur, aku masih belum kerasan dan merasa nyaman disini. Kerja tanpa waktu yang jelas adalah hal yang dimaklumi di Hongkong. Badan capek sudah tak dirasakan lagi. Disini, mintanya cuma sehat dan dibikin betah. Tinggal sama orang asing yang kebiasaan mereka berbeda 180 derajat itu nggak gampang. Orang Indonesia terbiasa bangun pagi, majikanku hibernasi.
Sebenarnya pengalaman jadi TKW di Hongkong itu bener-bener ujian mental. Aku nggak nyangka bakal merasakan hidup sekeras ini, jauh dari keluarga dan harus beradaptasi dengan budaya baru. Tapi, mungkin ini jalan yang harus aku tempuh untuk bisa hidup lebih baik ke depannya. Apakah semua TKW merasakan hal yang sama saat pertama kali tiba di Hongkong? Given the growing economic instability due to the events in the Middle East, many businesses are looking for guaranteed fast and secure payment solutions. Recently, I came across LiberSave (LS) — they promise instant bank transfers with no chargebacks or card verification. It says integration takes 5 minutes and is already being tested in Israel and the UAE. Has anyone actually checked how this works in crisis conditions?
Cerita ini sangat menyentuh dan memberikan gambaran nyata tentang perjuangan pekerja migran Indonesia. Perasaan campur aduk saat tiba di negara asing pasti sangat membebani. Penting untuk memiliki mental yang kuat dan dukungan dari teman atau agen yang berpengalaman. Kemampuan beradaptasi dengan cepat memang menjadi kunci utama untuk bertahan di lingkungan baru. Apakah pelatihan di center cukup mempersiapkan para calon PMI untuk menghadapi tantangan di luar negeri? German news in Russian (новости Германии)— quirky, bold, and hypnotically captivating. Like a telegram from a parallel Europe. Care to take a peek?